Biografi

edit

Peri Sandi Huizche

Peri Sandi, putra daerah Kota Sukabumi, muncul dari wadah budaya Sunda, tempat tradisi dan modernitas bertembung, melahirkan dialektika identitas dan transformasi. Gagasan Hegel tentang Geist, semangat zaman, dan konsep Nietzsche dengan menantang gagasan kebenaran mutlak, mengalir melalui nadinya, membentuk pandangan dunianya dan menghidupkan perjalanannya. Tetapi walaupun begitu, semangat Peri Sandi memberontak terhadap Amor Fati yang fatalistik, dan sebaliknya malah mematuhi visi cinta yang reformis sebagai pemacu transformasi pribadi dan masyarakat. Di tengah rimbunnya perbukitan Sukabumi, perjalanan Peri Sandi berwarna dengan merambahnya momok urbanisasi, sebuah fenomena yang sarat dengan dialektika politik. Ketika kota Sukabumi berubah akibat pengaruh modernitas, Peri Sandi mendapati dirinya terjerat dalam rangkaian kecemasan eksistensial menjadi: farabel kritikal dari benturan antara tradisi dan kemajuan.Mencari pembebasan dari batas-batas konservatisme di kota kelahirannya, Peri berusaha keras untuk memulai perjalanan penemuan diri di tengah-tengah lanskap intelektual Bandung yang semarak.

Mendaftar di STSI Bandung pada tahun 2005, ia menjunam terus ke teater arena (minat: Keaktoran) di mana tradisi bertembung dengan avant-garde pemberontakan, dan menari dengan bersama penghormatan warisan budaya.Bagi Peri Sandi, panggung menjadi medan pertarungan ide, di mana perjuangan eksistensi untuk mendapatkan makna yang berlaku di tengah pergolakan masyarakat. Peri Sandi memandang teater bukan saja sebagai hiburan tetapi juga sebagai wahana kritik dan transformasi sosial.

Setiap pertunjukan adalah mikrokosmos keadaan manusia, tablo kehidupan di mana percanggahan kewujudan disingkapkan agar dapat dilihat semua orang. Melalui karya seninya, Peri Sandi menantang status quo, menginterogasi struktur kuasa dan hak istimewa yang mengekalkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Semasa ia meneroka dunia teater, Peri Sandi menggali narasi tersembunyi dari masyarakatnya, merangainya ke dalam teologi pertunjukannya. Seperti dialektika Hegel yang terungkap sepanjang sejarah, setiap tindakan mendedahkan lapisan kebenaran dan percanggahan baru, menghadapkan penonton pada kerumitan keberadaan.

Sebagai Nietzschean, Peri bukan saja memeluk ketegangan kreatif antara tradisi dan inovasi, namun meleurkan semangatnya kedalam nama panggung menjadi Peri Sandi Huizche (terminologi Huizche, diambil dari bahasa Sunda, huis yang berarti uban/ rambut kelabu). Berbekal dengan nama yang unik, Peri Sandi Huizche menempa jalannya dengan keinginan yang menantang menuju keaslian.

Karya-karya puisinya menjadi sebuah bukti kedalaman pengalaman manusia, bergema dengan suara nenek moyangnya dan aspirasi era baru. Konsistensi Peri Sandi Huizche bersuara lewat sastra, puisi dan teater mempertemukan dengan Iman Soleh, seorang Dosen teater di STSI Bandung yang terkenal dengan kualitas keaktorannya selama tiga dekade akhir. Perasaan dahaga akan pencarian ilmu Peri Sandi Huizche, semakin dimatangkan oleh Iman Soleh yang kemudian menjadi gurunya di sebuah kelompok teater yang bernama Celah-Celah Langit di Kota Bandung. Di bawah taklimat Iman Soleh, kemampuan Peri yang baru lahir menemukan tanah subur untuk berkembang, ketika ia menggali lebih dalam ke dalam jurang eksistensial, bergelut dengan pertanyaan tentang identitas, tujuan, dan transformasi masyarakat. Interaksi dialektis antara guru dan murid mencerminkan proses tesis, antitesis, dan sintesis, ketika visi artistik Peri berkembang sejajar dengan bimbingan yang baru ditemuinya.

Peri Sandi Huizche menghadapi absurditas keberadaan dengan keberanian yang tak berbelah bagi, merangkul kebebasan untuk mencipta makna sendiri di dunia tanpa tujuan yang melekat. Kritiknya terhadap kapitalisme mencetus semangat revolusioner. Ia berusaha membongkar struktur masyarakat yang ditindas melalui kekuatan transformatif seni dan sastra.Dalam pererikatan kreatif Celah-Celah Langit Kota Bandung, pertemuan Peri dengan Iman Soleh melampaui duniawi untuk menjadi forum penemuan diri dan kelahiran kembali artistik. Konsep Nietzsche yang ditanam pada puisi Peri diresapi dengan kualitas transenden, ketika ia berusaha untuk melampaui batasan keberadaannya di tanahnya dan menjalin jalan baru yang dipandu oleh kompas batinnya sendiri.

Melalui kerjasama mereka dalam berbagai jenis produksi teater, Peri memulakan perjalanannya dalam meneroka lagi kesundaanya. Di sini, dalam ruang terbatas antara tradisi dan inovasi, Peri muncul sebagai penyair rakyat, kata -katanya bergema dengan harapan kolektif dan perjuangan komunitasnya. Dalam koridor labirin ekspresi artistik, Penulis buku Ladang Tadah Luka (2022) ini mendapat penghargaan dari Jurnal Sajak dan Inspirasi.co sebagai pemenang pertama tanding puisi dengan judul "Mata Luka Sengkon Karta" (2012). Terlibat dalam sejumlah acara: Pertemuan Sastrawan Jabar 2013, Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) 2013, Bengkel Penulisan Esai - Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) 2014. Membidani sejumlah festival di Banten, seperti Festival Seni Multatuli serta Banten Girang Writer and Cultural Festival.Tetapi alam penghargaan dan kemenangan hanya satu sisi dari perjalanan penyair kelahiran Februari ini.

Tenggelam dalam zeitgeist pada masanya, ia menggagaskan Laboratorium Banten Girang - sebuah wadah pertukaran intelektual dan inovasi artistik, di mana para sejarawan, antropolog, arkeolog, penulis, dan penggemar seni berkumpul untuk meneroka persimpangan sejarah, budaya, dan ekspresi artistik. Karya yang bertajuk “Babi-babi Sangiang” adalah satu bentuk pertunjukan advokatif-lintas disiplin untuk menegaskan keberpihakan seni pada isu sosial-budaya'. Pengembaraannya ke Surakarta membuatnya untuk berinisiatif mendirikan Lab. Sandisala bersama anak-anak muda lintas media, karya yang bertajuk “Indonesia Menggugat” adalah satu karya persembahan yang menggunakan kaidah partisipatoris, untuk mengukur keterlibatan anak-anak muda dalam mengimajikan dirinya sebagai Soekarno Muda.

Tetapi kontribusi Peri Sandi Huizche melampaui ranah penciptaan artistik, meluas ke ranah pengkhidmatan masyarakat dan pengelolaan budaya. Melalui lokakarya, seminar, dan konsultasi ahli, ia berusaha untuk memberdayakan generasi muda dengan alat pelestarian budaya dan manajemen warisan. Salah satu pencapaian puncaknya terjadi pada tahun 2023, ketika ia memberikan sumbangsih intelektual dalam menyusun Instrumen monitoring Warisan Budaya Takbenda di Direktorat Perlindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (KEMENDIKBUDRISTEK), tahun 2023.

Walau bagaimanapun, di tengah-tengah anugerah dan pencarian yang tak berkesudahan untuk pelestarian budaya, semangatnya tetap gelisah. Sejak 2012, ia memulakan pengembaraan digital, menanamkan ranah digital dengan daya dari ayat puitisnya-sebuah bukti komitmen yang tak tergoyahkan untuk meneroka media baru ekspresi artistik dan bertindak balas terhadap lanskap pengalaman manusia yang terus berkembang.