NEK MIANGK atau PAK MIANG atau PANG MILANG atau PANGLIMA MILANG
Pada tahun 1784 terjadi perang terbuka orang Cina dan Dayak yang dikenal dengan Perang Sangking (Sangkikng) di wilayah Pegunungan Sadaniang antara penduduk lokal (Dayak Mampawah) dengan 2.000 tentara Republik Lan Fong. Peperangan besar terjadi di sebuah tempat bernama Pasir Putih, dan berakhir di Air Mati (Ai Mati).
Ketika tentara Republik Lan Fong menyerang, ratusan warga Dayak dibunuh dan kepala mereka dipancung dan dipasang dipagar-pagar rumah betang, rumah-rumah betang dihancurkan dan dibakar di kampung Untang, dan sebagian penduduk yang tersisa melarikan diri dan mengungsi pada malam hari dengan perahu, memudiki sungai raja dan akhirnya menetap di Capala dan Sabandut (sekarang Kecamatan Mandor Capkala, Kabupaten Bengkayang), sebagian lagi menetap di kampung Bangkapm (Bangkam).
Berita penyerangan dan penaklukan tentara Republik Lan Fong ini menyebar ke kampung-kampung. Sebagian penduduk di kampung Pudak, yang dipimpin oleh Nek Sapi memutuskan mengungsi dan mengembara hingga akhirnya menetap di kampung Rukapm (sekarang distrik Lundu, Negara Bagian Sarawak-Malaysia).
Dari berbagai cerita yang diperoleh, dan sejumlah pengakuan para tokoh tua Suku Dayak di Kabupaten Bengkayang, tersisa sebuah keluarga saja di Kampung Pudak yang tidak mau mengungsi. Keluarga yang beranggotakan 5 orang itu adalah keluarga Nek Milakng (Pak Miang/ Nek Miakng/Pang Milang).
Nek Miakng memutuskan untuk bertempur melawan tentara Republik Lan Fang hingga tetes darah terakhir. Setelah adakan ritual Mato’ di Padagi, Nek Miakng pulang ke rumah dan membunuhi semua anggota keluarganya. “Lebih baik saya yang membunuh kalian, karena saya yang menghidupi, daripada kalian dibunuh oleh para tentara biadab itu,” ujar Nek Miakng kepada istri dan anak-anaknya. Setelah membunuh keluarganya, dengan perahu, Nek Miakng menyusuri sungai ke hulu. Di perjalanan, Nek Miakng mendapati banyak rumah betang hancur dan dibakar. Sementara di pagar-pagar rumah betang, kepala-kepala manusia yang dipancung di tusuk dengan tombak dan menjadi pagar kepala. Menyaksikan itu, dendam Nek Miakng semakin membara.
Tiba di Bangkapm, Nek Miakng mengumpulkan para lelaki muda untuk berperang. Lelaki muda dari berbagai kampung tiba ditempat itu, dan bergabung sehingga terkumpul 300 orang pasukan Nek Miakng. “Kita boleh mati, ini tanah air kita. Mereka boleh menang, tapi yakinlah kita tak mudah dikalahkan,” kata Nek Miakng.
Pasukan Nek Miakng mulai menyerang Sungai Raya, dan menaklukan desa itu. Semua penduduk Cina dibunuh. Sebagian pasukan menyerang Pasar Bukit, dan membakar tempat itu. Republik Lan Fong yang beribukota di Mandor (KabupatenLandak sekarang) panik dengan penaklukan Nek Miakng dan pasukannya. Dan segera utusan negara itu menemui kongsi-kongsi di daerah Sakawakng/Sakawang/Sangkawang (Singkawang), Buduk, Lara dan Monterado untuk menghadapi Nek Miakng. Kongsi Hesun di Monterado menyiapkan 1.000 tentara, dan Kongsi Thai Kong di Buduk Sambas menyiapkan 1.000 tentara khusus.
Nek Miakng menerima orang-orang Dayak dari daerah Gajekng, Bilado, Gado, dan lain-lain dan menyatakan keinginan bergabung untuk berperang melawan tentara kongsi. Mereka bertemu di suatu tempat, sepakat, dan menyatakan akan berbagi hadiah yang sama bila memenangi perang ini. Tempat ini dikenal dengan nama Sama Lantatn (Samalantan), Kabupaten Bengkayang. Setelah pertemuan di Sama Lantatn, pasukan Nek Miakng bertambah menjadi 1.000 orang.
Tahun 1786 masehi, peperangan besar terjadi di Monterado. 1000 pasukan Nek Miakng menghancurkan istana Kongsi Hesun, dan membunuh lebih dari 2.000 penambang emas dan tentara republik di kawasan itu. Batu peninggalan sebagai bukti kemenangan pasukan Nek Miakng, dikenal dengan Batu Abo’, terletak di daerah Desa Nyempen, Kecamatan Monterado, sekarang, ini. Di batu inilah, ribuan kepala penambang dan tentara republik di tanam sekaligus setelah digelar upacara Notokng. Sisa pasukan republik melarikan diri, dan bergabung dengan pasukan kongsi Thai kong di Sambas.
Selesai peperangan, menurut keterangan dari banyak sumber, pasukannya diminta Nek Miakng untuk kembali ke kampung masing-masing, untuk menjaga kampung dari serangan tentara republik. “Biarlah saya mati, saya sudah tidak ada keluarga,” ujar Nek Miakng kepada pasukannya. Pasukannya mengikuti perintah Nek Miakng, dan pasukan itu berangsur-angsur pulang.
Nek Miakng, memang berencana untuk menyerang markas tentarà Cina di Sakawakng sendirian saja. Tiba di Sakawakng, Nek Miakng menyerang kampung itu dan membunuh habis warga yang ada. Lebih dari 600 orang dibunuhnya, siang hingga malam hari. Keesokan harinya, 100 tentara republik tiba di tempat itu, dan menyaksikan pembantaian oleh Nek Miakng. Ketika melihat Nek Miakng sedang memanggang daging manusia dipinggir pantai, tentara republik mengepungnya dan meyiraminya dengan tombak dan anak panah. Sebagian bahkan menembak dengan senjata api (senapan lantak). Nek Miakng hanya tersenyum, tak satupun senjata itu melukainya. Tentara itu kemudian dibunuh oleh Nek Miakng.
Keesokan harinya, 200 tentara tiba di tempat itu, dan menyaksikan Nek Miakng sedang membakar mayat-mayat, dan hati serta jantung tentara disantapnya. Tentara republik kembali menyerbu, dan menyirami tubuh Nek Miakng dengan minyak babi dengan maksud membakar Nek Miakng. Nek Miakng tak pernah terbakar, dan para tentara itu habis dibunuhnya. Keesokan harinya, puluhan para tetua kongsi sembahyang di pekong/klenteng di muara Sungai Selakau, meminta kekuatan baru untuk menghadapi Nek Miakng. Ratusan dukun (Tatung) dikirim untuk membunuh Nek Miakng, namun dengan dukungan roh gaibnya, semua Tatung itu dibunuhnya juga.
Ketua Kongsi Thai Kong frustasi dengan situasi itu. Ratusan tentara dan dukun semua dapat dibunuh Nek Miakng. Ia pun mengirim beberapa orang untuk menyelidiki kekuatan Nek Miakng. Orang yang dikirim itupun ketahuan oleh Nek Miakng dan dibunuhnya. Marahlah sang ketua itu, beserta 20 kapitennya, ia memimpin sendiri 2.000 pasukan untuk membunuh Nek Miakng. Mereka khawatir, Nek Miakng akan menjadi raja semua bangsa Dayak yang sudah ditaklukannya selama puluhan tahun silam. Ia khawatir, Nek Miakng akan membangkitkan perlawanan seluruh orang Dayak untuk melawan kongsi-kongsi Cina. Suatu malam, Nek Miakng setelah menyantap daging manusia yang dibakarnya ia tertidur. Ia didatangi oleh roh istri dan anak-anaknya. Istrinya meminta Nek Miakng untuk menyerah saja dan minta dibunuh karena dendam darah sudah terbayarkan berlebihan. Nek Miakng terbangun, dan menangis. Nek Miakng menyesal dengan perbuatannya.
Tibalah tentara republik ditempat itu, dan mengepungnya. Nek Miakng tak melawan. Nek Miakng diikat oleh para tentara itu, dan dilemparkan ke laut. Namun Nek Miakng tak mati. Nek Miakng diangkat ke daratan, dan ditombak dengan besi panas. Nek Miakng juga hanya tertawa, merasa geli saja. Nek Miakng diletakkan diatas batu besar, dan ditimpa dengan batu, tak mati juga. Frustasilah tentara, dan para jendral republik. Nek Miakng melihat seorang tentara, dan sangat mirip dengan anak lelakinya yang sudah dibunuhnya. Nek Miakng menangis, dan kemudian berteriak keras kepada seorang jendral di situ, dan menyampaikan kelemahan kesaktiannya. “Dengan kayu itulah saya akan mati,”ujarnya sambil menangis. Nek Miakng memberikan syarat, untuk dilakukan setiap periode tertentu tiap tahun untuk mengenang kematiannya berupa permainan tatung. Nek Miakng menegaskan, kematiannya memang harus terjadi, agar bisa bersatu kembali dengan istri dan anak-anaknya yang sudah tewas sebelumnya. Jendral itu tersenyum, dan meminta tentaranya untuk mencari jenis kayu sebagaimana yang dimaksudkan Nek Miakng. Kayu itu menembus dada Nek Miakng. Nek Miakng, tewas seketika. Terbunuhnya Nek Miakng disambut suka cita oleh para tentara kongsi dan seluruh penambang emas. Semua tokoh Dayak di berbagai daerah diberitahu oleh pihak kongsi, dan meminta hadir dalam upacara menghormati Nek Miakng yang sudah dibunuh.
Mayat Nek Miakng selama seharian kemudian diarak oleh tentara dengan berkeliling kota, sambil berteriak-teriak dan disaksikan ribuan orang. “Ini panglima kalian orang Dayak, jangan coba memberontak lagi,” teriak pasukan yang mengarak mayat Nek Miakng itu. Hari itu sangat kelam, hujan rintik-rintik, dan ada pelangi di langit. Untuk mengenang hari pembunuhan Nek Miakng, diadakan pesta perarakan keliling kota dengan menghadirkan dukun/tatung yang duduk di atas tandu, kebal senjata tajam, dan berpakaian panglima/jendral perang tentara kongsi. Pesta perarakan kemenangan itu dikenal dengan nama Cap Go Me, dan kawasan tempat pembunuhannya itu sekarang diberi nama Kelurahan Pangmilang, Kecamatan Singkawang Barat, Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.
Maka atas dasar permintaan Nek Miakng yang dibunuh oleh pasukan Republik Lan Fong maka mereka harus membuat perayaan untuk memperingati tragedi itu. Karena tragedi itu bersifat heroik dan pertumpahan darah maka dilambangkanlah tatung-tatung itu menggunakan atribut kesatria Cina yang naik pancam (pedang maupun tombak) dan belakangan ini diundanglah dari pihak Dayak yang mau berpartisipasi menjadi tatung. Hal inilah mengapa perayaan Cap Go Me dengan segala atraksi naik pancam dan makan daging mentah serta minum darah hewan adalah wujud peringatan tragedi pertempuran Nek Miakng yang dikolaborasikan dengan peringatan 15 hari Tahun Baru China. Karena ada sumpah yang dijadikan sebagai bala, bagi masyarakat Cina di Singkawang jika tidak melakukan perayaan untuk memperingati terbunuhnya Nek Miakng.
Itulah yang melandasi pemahaman budaya, bahwa permainan tatung pada tiap Perayaan Cap Go Me di Singkawang, merupakan salah satu budaya asli Indonesia, perpaduan budaya Cina dan Dayak di Tanah Dayak, Pulau Dayak atau Pulau Borneo.